Hutang Orang yang Meninggal Dunia dan Hukum Shalat Fidyah

Pertanyaan Dari:
Yel Hidayati,
Mahasiswi Jurusan Matematika Universitas Muhammadiyah Bengkulu
(disidangkan pada Jum’at 2 Muharram 1429 H / 11 Januari 2008 M)
Pertanyaan:
  1. Kebiasaan masyarakat Kota Bengkulu setiap ada oramg meninggal dunia, sebelum mayat dimandikan, salah seorang keluarganya mengumumkan sebagai berikut: “Semua hutang si mayat kami ambil alih”. Maksudnya agar mayat tersebut bebas dari hutang. Apakah boleh demikian?
  2. Di desa saya sudah menjadi kewajiban kalau ada yang meninggal dunia, setelah mayat dikebumikan, pada malam pertama sampai dengan malam ketiga diadakan shalat fidyah. Apakah ada dasarnya?
Jawaban:
1.      Membayar atau melunasi hutang adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang berhutang. Bahkan Islam mengajarkan bagi orang yang sudah mampu untuk melunasi hutang, agar sesegera mungkin hutangnya dilunasi. Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang telah memiliki kemampuan untuk melunasi dikategorikan sebagai sebuah kedzaliman. Dalam hadits diterangkan:

عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.” [HR. al-Bukhari]
Jika orang yang berhutang sampai meninggal dunia belum melunasi hutangnya, dan ia meninggalkan harta waris, maka untuk pelunasan hutang diambil dari harta warisnya sebelum dibagikan kepada ahli warisnya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
Artinya: “… (Pembagian-pembagian warisan tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS. an-Nisa’ (4): 11]
Dalam pada itu mengambil alih tanggung jawab orang yang berhutang yang tidak mampu membayar hutangnya adalah merupakan perbuatan yang dibenarkan dan bahkan merupakan perbuatan yang terpuji, termasuk dalam hal ini membayar hutang orang yang tidak mampu membayar hutang sampai ia meninggal dunia. Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebajikan.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. al-Maidah (5): 2]
Dalam hadits diterangkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa melapangkan seorang mukmin dari suatu kesusahan di dunia, maka Allah akan melapangkannya dari kesusahan pada hari kiamat; barangsiapa yang memudahkan bagi orang yang sedang mendapakan suatu kesulitan, Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang menutup cela seorang muslim, Allah akan menutup kesalahannya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.” [HR. Muslim]

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لاَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ. [رواه البخاري]

Artinya:  “Diriwayatkan dari Salmah Ibn al-Akwa’, bahwa kepada Nabi saw dihadapkan jenazah seseorang untuk dishalatkan. Nabi bertanya: Apakah jenazah ini mempunyai hutang? Mereka (para shahabat) menjawab: Tidak. Kemudian Nabi saw menyalatkannya. Setelah itu kepada Nabi saw dihadapkan jenazah yang lain. Nabi saw bertanya: Apakah jenazah ini mempunyai hutang? Mereka menjawab: Ya. Kemudian Nabi saw memerintahkan kepada para shahabat: Shalatkanlah jenazah temanmu ini. Abu Qatadah berkata: Wahai Rasulullah, saya yang menanggung hutangnya. Kemudian Nabi menyalatkan jenazah itu.” [HR. al-Bukhari]
Dari hadits terakhir, di samping diperoleh pelajaran bahwa seseorang dibenarkan menanggung hutang dari orang yang telah meninggal dunia, sesungguhnya juga terkandung pelajaran bahwa agar seseorang berusaha semaksimal mungkin untuk segera melunasi hutangnya, sehingga jangan sampai meninggal dunia masih mempunyai hutang.
Berdasarkan ayat dan hadits yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa:
a.       Orang yang berhutang wajib melunasi hutangnya.
b.      Hendaknya seseorang yang berhutang, berusaha semaksimal dan secepatnya untuk dapat melunasi hutangnya.
c.       Islam tidak membenarkan menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang telah memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya.
d.      Bagi orang yang berhutang dan sampai akhir hayatnya hutangnya belum dilunasi, maka untuk pembayaran hutangnya diambil dari harta warisnya sebelum dibagi kepada ahli warisnya.
e.       Islam mengajarkan dan menganjurkan agar menolong orang yang dalam keadaan kesulitan termasuk kesulitan dalam membayar hutang.
f.       Islam membenarkan dan menganjurkan seseorang menanggung hutang orang lain yang tidak mampu membayar hutangnya, apalagi jika orang yang berhutang itu tidak dapat melunasi hutangnya sampai dengan meninggal dunia.
Dengan keterangan di atas, maka kebiasaan yang terjadi di Kota Bengkulu sebagaimana yang saudara tanyakan dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, hanya saja hendaknya diperhatikan butir-butir aturan agama sehubungan dengan pembayaran hutang sebagaimana yang telah disebutkan. Perlu untuk disampaikan pula hendaknya kebiasaan pengambilalihan tanggung jawab hutang orang yang meninggal dunia yang terjadi di kota saudara tersebut bukan hanya sekedar formalitas atau basa-basi, tapi orang yang mengambil alih hutang tersebut betul-­betul melaksanakan kesanggupannya.
2.      Sejauh kami melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits, tidak atau belum dapat kami ketemukan dasar hukum bagi shalat fidyah yang saudara tanyakan.
Dalam sebuah hadits diterangkan:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ [رَوَاهُ البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari’Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang berbuat dalam urusan agama kami ini (ibadah,) yang tidak terdapat di dalamnya (tuntunan dari agama), maka perbuatan itu tertolak (tidak diterima).” [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz dari al-Bukhari]
Dalam qa’idah fiqhiyyah disebutkan:

اْلأَصْلُ فَي اْلعِبَادَةِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيلُ عَلَى اْلأَمْرِ.

Artinya: “Pada dasarnya dalam bidang ibadah tidak boleh dilakukan sampai adanya dalil yang memerintahkan.”
Maka shalat fidyah yang saudara katakan menjadi kewajiban untuk dilaksanakan pada malam pertama sampai dengan malam ketiga setelah jenazah dikebumikan, tidak dibenarkan untuk dilakukan.
Sekedar tambahan, bahwa fidyah dalam ajaran Islam adalah kewajiban bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadan karena udzur, untuk memberi makan kepada seorang fakir miskin sebanyak satu mud untuk setiap hari tidak berpuasa.
Wallahu a’lam.

 

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Membaca Al-Qur’an dalam Satu Surat Waktu Shalat Terbalik Urutannya, Membaca “Sayyidina” dalam Shalat pada Waktu Tahiyyat dan Menjelaskan Hadits dengan Al-Qur’an

Pertanyaan Dari:
Nyak Mat, NBM 874.346,
Ketua PR Muhammadiyah Kauman Pisang Labuhan Haji tahun 1995-2005
Desa Ujung Batu Kec. Labuhan Haji Aceh
(disidangkan pada hari Jum’at, 4 Syakban 1431 H / 16 Juli 2010)
Pertanyaan:
1.      Bagaimana hukumnya imam dalam salat jamaah membaca al-Quran dalam satu surat terbalik urutannya? Dalam rakaat pertama membaca:

آمَنَ الرَسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ  sampai denganفَانْصُرْنَا عَلَي اْلقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ [الْبَقَرَةُ : 285-286]

Pada rakaat kedua membaca:

وَ إِذاَ سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي  sampai denganلَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ [البقرة: 186]

2.      Dalam rubrik khutbah Jum’at yang dimuat SM banyak dijumpai bacaan salawat:

وَ الصَّلاَةُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bolehkah bacaan salawat seperti itu dibaca dalam salat ketika duduk tahiyat?
3.      Dalam SM no 23 tahun 2009 khutbah yang disampaikan Kusun Dahari dituliskan hadis:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Hadis itu ditafsirkan dengan ayat al-Quran surat an-Nisa ayat 9 :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Pertanyaannya; Apakah boleh hadis Nabi diperjelas dengan ayat al-Quran seperti termuat juga dalam khutbah Jum’at SM no. 4 tahun 2010? Penulis pernah mendengat pendapat yang mengatakan haram hal itu.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan. Kami telah merangkum pertanyaan-pertanyaan saudara menjadi tiga hal. Adapun jawaban untuk pertanyaan saudara tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Pada dasarnya sunnah Rasulullah saw dalam membaca surat al-Qur’an ketika menjadi imam sungguh sangat berbeda dengan yang selama ini sudah menjadi kebiasaan di tengah umat Islam. Perbedaan tersebut terdapat dalam beberapa hal. Pertama, Rasulullah saw jarang sekali membaca ayat-ayat al-Quran yang sangat pendek. Ketika salat subuh misalnya, beliau biasa membaca surat Qaf pada rakaat pertama dan surat ar-Rum pada rakaat kedua. Beliau juga terkadang membaca surat at-Takwir untuk rakaat pertama dan al-Zilzalah untuk rakaat kedua (HR Ahmad). Hanya dalam kondisi perjalanan (safar) saja beliau membaca surat pendek seperti al-Falaq dan an-Nas. Dalam salat zuhur demikian juga. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menerangkan hal tersebut:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ لَقَدْ كَانَتْ صَلاَةُ الظُّهْرِ تُقَامُ فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقْضِى حَاجَتَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْتِى وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى مِمَّا يُطَوِّلُهَا [رواه مسلم]

Artinya: “Dari Abu Said al-Khudriy, ia berkata: suatu ketika salat zuhur ditunaikan, lalu seseorang pergi ke (perkampungan) Baqi’ dan ia melaksanakan aktivitasnya (di sana), kemudian ia berwudlu lalu mendatangi jamaah salat dan Rasulullah Saw. (yang menjadi imam) masih berada pada rakaat pertama karena saking panjangnya apa yang beliau baca”. [HR. Muslim]
Perbedaan kedua adalah Rasulullah saw tidak pernah membaca surat secara sepotong-sepotong. Dalam keterangan hadis-hadis ditemukan bahwa Rasulullah saw selalu membaca ayat secara sempurna, baik diselesaikan dalam satu rakaat, ataupun dibagi ke dalam dua rakaat. Dalam salat Maghrib misalnya, beliau membaca surat al-A’raf dalam dua rakaat, atau ath-Thur dan al-Mursalat atau membaca al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan al-Nas) [Ibnu al-Qayyim, Zadul Ma’ad, vol. I, hal. 205, Sayyid Sabiq, vol. I, hal. 183].
Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut bukanlah suatu kewajiban yang juga harus dilakukan oleh umatnya. Dalam kaedah ushul fikih disebutkan:

مُجَرَّدُ الْفِعْلِ لَا يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ

Artinya: “Perbuatan Nabi semata (yang tidak diiringi oleh indikasi lain) tidak menunjukkan kewajiban.”
Yang diperintahkan dan menjadi kewajiban hanyalah membaca suratnya saja, bukan panjangnya bacaan atau kesesuaian dengan contoh dari Nabi saw. Dalam al-Quran disebutkan:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ [المزمّل، 73: 20]

Artinya: “…karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an.” [QS. al-Muzzammil (73): 20]
Namun, bagi para imam yang ingin menegakkan sunnah Rasulullah saw serta dengan mempertimbangkan kenyamanan jamaah dengan bacaan panjang, maka tentu mengikuti sunnah Rasulullah saw adalah lebih utama. Berkenaan dengan membaca ayat tidak berdasarkan urutan dalam rakaat pertama dan rakaat kedua, kami berpandangan hal tersebut tidaklah dilarang, karena tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Namun kami berpandangan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang mafdhul-tidak utama (kebalikan dari afdhal) karena tidak sesuai dengan sunah Nabi saw. Dengan demikian kami berpandangan sebaiknya tidak dilakukan.
2.      Shalat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifiy (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah saw). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan Rasulullah saw dalam salat. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw telah bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى [رَوَاهُ الْبُخَارِي]

Artinya: “Salatlah sebagaimana kamu sekalian melihat aku salat.” [HR. al-Bukhari]
Sementara itu, tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan untuk membaca salawat kepadanya dalam salat dengan menambahkan kata “sayyidina”. Hadis-hadis Nabi saw yang menerangkan bacaan salawat dalam salat antara lain adalah sebagai berikut:

عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قال قُلْنَا يا رَسُولَ اللَّهِ هذا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كما صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إبراهِيْمَ [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy, ia berkata: kami mengatakan pada Rasulullah: Ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu (dalam salat), tapi bagaimana cara kami membaca salawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah, Allahumma shalli ‘ala Muhammadin abdika wa rasulika kama shallayta ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim”. [HR al-Bukhari]

عن كَعْبِ بن عُجْرَةَ قال قُلْنَا أو قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَرْتَنَا أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ وَأَنْ نُسَلِّمَ عَلَيْكَ فَأَمَّا السَّلَامُ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قال قُولُوا اللهم صَلِّ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما صَلَّيْتَ على إبراهيم وَبَارِكْ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ على آلِ إبراهيم إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah ia berkata: Kami berkata atau mereka berkata: Wahai Rasulullah, engkau menyuruh kami bersalawat kepadamu dan membaca salam kepadamu. Adapun (bacaan) salam kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana cara kami bersalawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah: “Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala ali Ibrahim innaka hamidun majid”.” [HR Muslim]

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنِ النَّبِيِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ فِي الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ [رَوَاهُ الشَافِعِي فِي كِتَابِ الْأُمِّ]

Artinya: “Dari Ka’ab bin Ujrah dari Nabi saw, bahwasanya ketika salat ia mengucapkan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim innaka hamidun majid”. [HR asy-Syafii di Kitab al-Umm]
Dengan demikian, menambahkan kata “sayyidina” dalam salat adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali dan oleh karenanya tidak perlu dilakukan.
3.      Al-Qur’an dan Hadis adalah dua pusaka yang ditinggalkan untuk umat Islam selaku umat yang hidup di akhir zaman. Sebagai sumber hukum, hadis terletak pada urutan ke dua setelah al-Qur’an. Posisi hadis terhadap al-Qur’an sendiri adalah sebagai mubayyin (menjelaskan) hal-hal yang umum, muakkid (memperkuat) apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan mutsbit (menetapkan) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya. Namun, keduanya tetaplah satu kesatuan yang berfungsi sebagai huda (petunjuk) bagi kehidupan manusia. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa ketaatan terhadap Allah berada dalam satu paket dengan ketaatan pada Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء، 4: 59]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [QS. an-Nisa’ (4): 59]
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw juga bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ [رواه مالك]

Artinya: “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara, selama-lamanya tidak akan tersesat jika kamu sekalian senantiasa berpegang kepada keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” [HR. Malik]
Dalam permasalahan yang saudara tanyakan, hadis tentang tiga peninggalan yang tidak akan putus pahalanya memiliki kesamaan munasabah (konteks) dengan ayat al-Qur’an surat al-Nisa ayat 9. Dalam khazanah keilmuan Islam, penjelasan dengan metode seperti itu disebut dengan syarh bil-matsur (penjelasan dengan menggunakan nash) selain metode lainnya yang disebut syarh bil-‘aql (penjelasan dengan akal).
Para ulama juga banyak yang melakukan hal tersebut di dalam karya-karya mereka. Saudara bisa mengeceknya misalnya ke kitab hadis Arbain Nawawiyah karya Imam an-Nawawi. Hadis-hadis yang termuat dalam kitab tersebut telah banyak di-syarah (dijelaskan) oleh para ulama dan juga telah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Misalnya, pada hadis pertama tentang niat, para ulama yang menjelaskan hadis ini biasanya menghubungkannya dengan ayat al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5 dan beberapa ayat lainnya.
Berangkat dari keterangan tersebut, maka menjelaskan hadis dengan ayat al-Quran adalah satu hal yang dibolehkan. Demikian jawaban kami. Semoga Allah selalu menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita.
Wallahu A’lam.

 

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Cara Duduk dalam Shalat Dua Raka’at

Pertanyaan dari:
Sri Hartanti, Semarang, Jawa Tengah
(Disidangkan pada hari Jum’at, 11 Jumadilawal 1431 H / 30 April 2010)
Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb
Pada salat dengan bilangan 3 atau 4 rakaat (salat maghrib, isya, dhuhur, damn asar) ada tahiyat awal dan tahiyat akhir. Pada tahiyat awal, posisi duduknya dengan iftirasy, yaitu kaki kiri tepat di bawah pantat, sedang tahiyat akhir, posisi duduknya dengan tawarruk, yaitu kaki kiri menyilang bersentuhan dengan kaki kanan.
Pertanyaan saya adalah, untuk salat dengan 2 rakaat misalnya salat subuh, apakah posisi duduknya dengan duduk iftirasy karena dalam salat dua rakaat tersebut tidak ada tahiyat akhir, atau dengan cara duduk tawarruk terus salam karena tidak ada tahiyat awal.
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb
Terima kasih atas pertanyaan yang telah ibu sampaikan. Untuk menjawab pertanyaan ibu, perlu kami sampaikan beberapa hal:
Pertama, bahwa dalam agama Islam salat merupakan bentuk ibadah yang dikategorikan ibadah mahdhah (khusus). Oleh karena itu, tata cara pelaksanaannya harus mengikuti contoh dan tuntunan Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Malik bin al-Huwairis, Rasulullah saw bersabda;

…وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ [رواه البخارى، باب الأذان للمسافر إذا كانوا جماعة]

Artinya: “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan salat, apabila (waktu) salat telah tiba, maka, hendaklah salah seorang diantaramu mengumandangkan adzan, dan hendaklah orang yang lebih tua diantaramu menjadi imam.” [HR al-Bukhari, bab al-Adzan li al-musafiri idza kaanu fi jamaa’ah]
Kedua, ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang cara duduk dalam salat. Adapun hadis-hadis yang menjelaskan tentang cara duduk dalam salat tersebut adalah sebagai berikut:

1- أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ اللَّيْثِيُّ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا [رواه البخارى، باب من استوى قاعدا فى وتر من صلاته]

Artinya: “Malik bin al-Huwairis al-Laisy telah menceritakan kepada kami, bahwa dirinya pernah melihat Nabi saw. sedang melakukan salat, apabila beliau duduk pada rakaat ganjil dari salatnya beliau tidak berdiri, sampai beliau duduk dengan lurus”. [HR al-Bukhari; bab man istawa qaidan fi witrin min salatihi]

2-  عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيمِ [مسلم، كتاب الصلاة، باب ما بجمع صفة الصلاة ومايفتتح به ويختتم به]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata; adalah Rasulullah saw. memulai salatnya dengan (mengucapkan) takbir dan (melanjutkan) dengan (bacaan) alhamdu lillahi rabbil’alamin. Apabila beliau ruku’, maka tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula merendahkannya, tetapi beliau melakukannya dengan tengah-tengah (lurus). Apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ (bangkit), beliau  tidak (segera) sujud sampai berdiri tegak. Dan apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud, maka beliau pun tidak (segera) sujud (yang kedua) sampai beliau sempurna duduknya, dan pada setiap dua rakaat beliau membaca “at-Tahiyat” dan (pada saat itu) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Beliau melarang (orang salat) duduk di atas kedua tumitnya dan melarang pula seseorang menghamparkan kedua hastanya hamparan binatang buas, dan beliau mengakhiri salatnya dengan membaca salam.” [HR Muslim; kitab as-Salat, bab Maa Yajma’u shifat as-Salat wa maa Yuftatahu bihi wa Yuhtatamu bihi]

3- عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشَخِّصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّاتُ وَكَانَ إِذَا جَلَسَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata; adalah Rasulullah saw. memulai salatnya dengan (mengucapkan) takbir dan (melanjutkan) dengan (bacaan) al-hamdu lillahi rabbil-‘alamin. Apabila beliau ruku’, maka tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula menundukkannya, tetapi beliau melakukannya dengan tengah-tengah (lurus). Apabila beliau mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’ , beliau  tidak (segera melakukan) sujud sampai berdiri tegak. Dan pada setiap dua rakaat beliau membaca “at-Tahiyat” dan beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” [HR. Abu Dawud]

4- عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ [رواه البخارى، كتاب الاذان، باب سنة الجلوس فى التشهد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Muhammad bin Amr bin ‘Atha bahwa dirinya pernah duduk bersama dengan para shahabat, maka kami membicarakan tentang salat Nabi Saw, (ketika itu) Abu Humaid as-Sa’idi berkata; aku adalah orang yang paling mengerti salat Rasulullah Saw. Aku melihat beliau, apabila bertakbir, mengangkat kedua tangannya sejurus dengan bahunya dan apabila ruku’ meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu membungkukkan punggungnya, kemudian apabila mengangkat kepalanya beliau berdiri tegak sehingga luruslah tiap tulang-tulang punggungnya seperti semula; lalu apabila sujud, beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada tanah dengan tidak menempelkan kedua lengan dan tidak merapatkannya (pada lambung), dan ujung-ujung jari kakinya dihadapkan ke arah Qiblat. Kemudian apabila duduk pada raka’at yang kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menumpukkan kaki yang kanan. Kemudian apabila duduk pada raka’at yang terakhir ia majukan kaki kirinya dan menumpukkan kaki kanannya serta duduk bertumpu pada pantatnya.” [HR. al-Bukhari, kitab al-Adzan, bab sunnah al-Julus fii at-Tasyahhud]

5- عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ [رواه النسائى، كتاب السهو، باب صفة الجلوس فى الركعة التى يقضى فيها الصلاة]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’idy ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila beliau duduk pada rakaat kedua dimana  salat berakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan duduk pada bagian kirinya dengan cara tawarruk, lalu ia mengucapkan salam”. [HR an-Nasa’i, Kitab as-Sahwi, Bab Sifat al-Julus fi ar-Rak’ati allati yaqdhi fiiha as-Salat]
Dengan memperhatikan hadis-hadis tentang tata cara salat di atas, dapat disimpulkan bahwa  duduk dalam pelaksanaan salat ada dua macam, yaitu:
Pertama, duduk iftirasy, yaitu duduk dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan.
Kedua, duduk tawarruk, yaitu duduk dengan cara memajukan kaki kiri di bawah kaki kanan dan menegakkan telapak kaki kanan.
Berdasarkan kemiripan matan dan kesamaan isi, dilalah hadits-hadits tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1.      Kelompok pertama (hadits no.1). Dilalah hadits  ini menunjukkan adanya duduk istirahat ketika akan berdiri dari rakaat ganjil (rakaat pertama dan tiga).
2.      Kelompok kedua (hadis no. 2 dan 3). Dilalah kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi saw. pada setiap 2 rakaat membaca at-tahiyat (tasyahud) dan duduk dengan cara duduk iftirasy, dan Nabi melarang duduk di atas kedua tumitnya dan melarang pula kepada orang yang salat menghamparkan kedua hastanya seperti binatang.
3.      Kelompok ketiga (hadis no.4-5). Dilalah kedua hadis tersebut menjelaskan apabila beliau duduk pada rakaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy) dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukkan kaki kiri (di bawah kaki kanan) dan menegakkan kaki kanannya (duduk tawarruk)
Secara lahiriyah (tekstual) hadis no. 3 (hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) menunjukkan bahwa pada setiap dua rakaat membaca “at-Tahiyyat” atau “tasyahud” dan duduk dengan cara duduk iftirasy. Pemahaman ini tidak tepat karena pada hadis lain seperti  pada hadis no. 4,  hadis riwayat al-Bukhari melalui Abu Hamid as-Sa’idy menjelaskan bahwa beliau (Abu Hamid) mengetahui betul cara shalat Rasulullah, apabila duduk pada rakaat kedua beliau duduk dengan cara duduk iftirasy dan apabila duduk pada rakaat terakhir duduk dengan cara duduk tawarruk. Dan pada hadis no. 5 (hadis riwayat an-Nasa’i dari Abu Hamid as-Sa’idy menjelaskan bahwa Nabi saw apabila duduk pada rakaat kedua yang merupakan rakaat terakhir duduk dengan cara duduk tawarruk.
Menurut kami hadis no. 3 (hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) tidak difahami secara kemutlakannnya, akan tetapi harus dihubungkan dengan pemahaman terhadap hadis lainnya (seperti hadis no. 4 dan 5)  yang semakna.
Dengan demikian untuk memahami hadis tersebut (hadis no. 3, hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) perlu dikaitkan dengan pemahaman terhadap hadis lainnya, dan menurut kami pemahaman semacam ini lebih tepat.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadis tersebut (hadis no. 3, hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) adalah cara duduk pada rakaat kedua yang bukan merupakan rakaat terakhir dengan cara duduk “iftirasy”, sedang duduk pada rakaat kedua dan rakaat tersebut merupakan rakaat terakhir (yang diakhiri dengan mengucapkan salam), maka duduknya dengan cara duduk “tawarruk” (memasukkan kaki kiri di bawah kakik kanan, dan menegakkan jari-jari kaki kanan serta duduk di lantai). Pemahaman semaca ini  dikuatkan dengan pemahaman dari beberapa hadis yang menjelaskan bahwa cara duduk pada rakaat terakhir (baik jumlah rakaatnya 2, 3 atau 4) dengan cara duduk ”tawarruk”.  Adapun hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut;

1- أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حُمَيْدٍ السَّاعِدِيَّ فِي عَشْرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو قَتَادَةَ قَالَ أَبُو حُمَيْدٍ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا فَلِمَ فَوَاللَّهِ مَا كُنْتَ بِأَكْثَرِنَا لَهُ تَبَعًا وَلَا أَقْدَمِنَا لَهُ صُحْبَةً قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يَقِرَّ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يَرْكَعُ وَيَضَعُ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَعْتَدِلُ فَلَا يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلَا يُقْنِعُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَهْوِي إِلَى الْأَرْضِ فَيُجَافِي يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَفْتَحُ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ إِذَا سَجَدَ وَيَسْجُدُ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَصْنَعُ فِي الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا كَبَّرَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي بَقِيَّةِ صَلَاتِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ قَالُوا صَدَقْتَ هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (أبو داود:الصلاة: افتتاح الصلاة)

2- عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لَهُ مَا كُنْتَ أَقْدَمَنَا صُحْبَةً وَلَا أَكْثَرَنَا لَهُ تَبَاعَةً قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ قَالَ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَى بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ فَرَكَعَ ثُمَّ اعْتَدَلَ فَلَمْ يَصُبَّ رَأْسَهُ وَلَمْ يَقْنَعْهُ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ رَفَعَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى رَجَعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ هَوَى سَاجِدًا وَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ جَافَى وَفَتَحَ عَضُدَيْهِ عَنْ بَطْنِهِ وَفَتَحَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا وَاعْتَدَلَ حَتَّى رَجَعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ هَوَى سَاجِدًا وَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عُضْوٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ نَهَضَ فَصَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ ثُمَّ صَنَعَ كَذَلِكَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ (أحمد:باقى مسند الأنصارى)

3- عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا مَا كُنْتَ أَقْدَمَنَا لَهُ صُحْبَةً وَلَا أَكْثَرَنَا لَهُ إِتْيَانًا قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَرَكَعَ ثُمَّ اعْتَدَلَ فَلَمْ يُصَوِّبْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقْنِعْ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى إِلَى الْأَرْضِ سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ جَافَى عَضُدَيْهِ عَنْ إِبْطَيْهِ وَفَتَخَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ نَهَضَ ثُمَّ صَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ ثُمَّ صَنَعَ كَذَلِكَ حَتَّى كَانَتْ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا صَلَاتُهُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ (الترمذى:الصلاة)

Dengan mengkaji ulang pemahaman terhadap hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat “raka‘at terakhir”  (وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَة)  yaitu duduk tahiyat terakhir dalam shalat, baik shalat tersebut jumlah rakaatnya dua rakaat, tiga rakaat atau empat rakaat, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnat yang setelah selesai berdo’a lalu ditutup dengan salam. Cara duduk pada rakaat terakhir tersebut sama, yaitu dengan cara duduk tawarruk.
Wallahu a‘lam bish-shawab.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Fardlu Kifayah

 Pertanyaan Dari:
Agus Suryanto
suryanto_ags@lycos.com
(disidangkan pada Jum’at, 6 Rabiul Awwal 1429 H / 14 Maret 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Ada beberapa pertanyaan yang saya ingin tahu jawabannya:
1.      Apakah yang dimaksud dengan fardlu kifayah?
2.      Apa saja yang termasuk fardlu kifayah? Yang saya tahu hanya melayat, katanya masuk fardlu kifayah.
3.      Bagaimana jika fardlu kifayah tidak bisa ditunaikan ?
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
1.      Wahbah az-Zuhaili dalam kitab Ushulul Fiqhil Islami, 1986, Juz I halaman 62, menjelaskan fardlu kifayah ialah perbuatan yang dituntut terwujudnya tanpa memandang siapa yang melakukan. Tuntutan ini ditujukan kepada sekelompok mukallaf (orang dewasa yang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum). Dengan redaksi lain dapat dikemukakan bahwa fardlu kifayah yakni perbuatan yang diwajibkan oleh Allah SWT harus terlaksana dalam sebuah komunitas tanpa memandang apakah perbuatan itu dilakukan oleh semua umat Islam atau sebagian dari mereka. Dengan demikian jika perbuatan yang diwajibkan ini telah terlaksana sekalipun hanya dilakukan oleh sebagian dari sekelompok umat Islam bahkan jika mungkin hanya dilakukan oleh seorang saja di sebuah komunitas, maka berarti perbuatan itu telah terwujud, sehingga  tidak lagi dituntut kepada sebagian umat Islam yang tidak –ikut– melaksanakan untuk melaksanakan perbuatan yang serupa.
2.      Semua perbuatan dalam perawatan jenazah adalah termasuk perbuatan yang dihukumi dengan fardlu kifayah, yakni memandikan jenazah, mengkafani, menyalatkan dan menguburkannya. Di samping itu masih banyak lagi perbuatan yang dihukumi sebagai perbuatan fardlu kifayah seperti menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi munkar, –dan menurut sebagian ulama—mendirikan shalat jama’ah di masjid. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang sangat dibutuhkan dalam menegakkan dan memperlancar kehidupan, seperti mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mendirikan rumah sakit, panti asuhan, serta mempelajari dan mendalami bidang-bidang ilmu yang  dibutuhkan oleh masyarakat.
3.      Sebagai sebuah kewajiban yang dituntut kepada sekelompok umat, maka jika kewajiban tersebut tidak ditunaikan oleh mereka atau sebagian dari mereka, atau tidak seorangpun dari mereka yang mengerjakan,  maka berdosa semua mukallaf  di dalam komunitas itu. Namun di antara perbuatan yang dihukumi dengan fardlu kifayah ini ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilaksanakan oleh kalangan terbatas, yakni pada perbuatan-perbuatan yang memerlukan kemampuan atau keahlian, misalnya perbuatan dalam bidang fatwa, medis, SAR, perbuatan yang memerlukan dana besar dan lain sebagainya. Pada perbuatan-perbuatan seperti ini fardlu kifayah hanya ditujukan kepada mereka yang memiliki keahlian dan tahu akan perbuatan yang dihukumi dengan fardlu kifayah tersebut. Jika dalam satu komunitas tersebut terdapat beberapa orang yang memiliki keahlian dan tahu akan perbuatan yang dihukumi dengan fardlu kifayah, tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang melakukan, maka semua mereka yang memiliki keahlian dan tahu akan perbuatan yang dihukumi fardlu kifayah dalam komunitas itu yang berdosa, sedangkan masyarakat yang lain tidak berdosa karena tidak dilaksanakan perbuatan yang dihukumi dengan fardlu kifayah itu, tetapi berdosa jika mereka tahu ada orang yang memiliki keahlian tetapi  tidak mendorong mereka yang mempunyai keahlian tersebut untuk melaksanakan perbuatan yang dihukumi dengan fardlu kifayah. Misalnya jika di sebuah komunitas terdapat beberapa orang ahli berenang, kemudian di situ terjadi banjir yang mengakibatkan salah seorang warganya  terbawa arus dan ia tidak dapat berenang yang sangat memungkinkan dia akan tenggelam dan mati, maka mereka yang ahli berenang dan tahu ada orang yang akan tenggelam itulah yang terkena fardlu kifayah untuk menolong. Oleh karena itu jika tak seorang pun dari mereka yang ahli berenang dan tahu ada orang yang akan tenggelam yang mau menolongnya, maka merekalah yang berdosa karena tidak melakukan fardlu kifayah, sedangkan masyarakat yang lain –yang tidak dapat berenang–  tidak berdosa karena tidak melakukan penyelamatan terhadap orang yang akan tenggelam itu, tetapi mereka berdosa karena mereka tahu ada orang pandai berenang tetapi tidak mendorong yang pandai berenang untuk melakukan pertolongan.
4.      Jika dalam komunitas itu hanya ada satu-satunya orang yang memiliki kemampuan atau keahlian, maka hanya dialah yang terkena kewajiban fardlu kifayah ini. Dengan kata lain dalam keadaan yang seperti ini fardlu kifayah berubah menjadi fardlu ’ain, sehingga ia harus melaksanakan, jika tidak melaksanakan ia berdosa karena tidak melaksanakan perbuatan itu. Dalam pada itu masyarakat yang lain yang tahu ada orang yang pandai berenang berdosa karena tidak mau mendorong orang yang memiliki keahlian tersebut untuk melaksanakan perbuatan yang hanya ia yang dapat melaksanakannya. Seperti dalam contoh di atas, jika yang pandai berenang hanya seorang saja dan ia tahu ada orang yang akan tenggelam, maka orang pandai berenang itu wajib menolongnya. Jika dia tidak mau menolongnya, maka dia berdosa. Sementara masyarakat yang lain yang tahu ada orang yang pandai berenang, tidak berdosa karena tidak melakukan pertolongan, melainkan berdosa karena tidak mendorong orang yang pandai berenang untuk menolong orang yang akan tenggelam akibat terseret arus air banjir tersebut. (Dapat dibaca lebih lanjut: Wahbah az-Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, Juz I halaman 64 dan TM Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid II, halaman 145).
Wallahu a’lam bish-shawab

 

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Shalat Taubat dan Hukum Pasang Gigi

Penanya:
Sujoko, Sekretaris PCM Ampel,
Boyolali, Jawa Tengah
Pertanyaan:
1.      Mengapa dalam HPT tidak dikenal dengan shalat taubat, padahal dalam majalah As-Sunnah ada shalat taubat serta disebutkan dalil-dalilnya? Mohon penjelasan!
2.      Bagaimana hukum pasang gigi?
Jawaban:
Mengenai pertanyaan No. 1 tentang shalat taubat tidak tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
HPT itu merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw. Kalau kita baca buku-buku seperti Nailul-Authar karangan Imam asy-Syaukani, Subulus-Salam karangan Imam ash-Shan‘ani, Zadul-Ma‘ad karangan Ibnul-Qayyim al-Jauziyah, juga mereka tidak mencantumkan di dalamnya tentang shalat taubat. Hanya akhir-akhir ini dalam kitab-kitab yang ditulis oleh as-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah atau TM Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pedoman Shalat, kedua ulama ini mencantumkan dan menempatkan shalat taubat dalam deretan shalat-shalat sunat.
Kalau kita meneliti latar belakang mengapa dalam HPT tidak dicantumkan/ dimasukkan shalat taubat, juga shalat tasbih, dalam deretan shalat-shalat sunat, karena hadits-hadits tentang shalat taubat itu masih diperselisihkan tentang keshahihannya oleh para ahli hadits. Memang di dalam kitab Sunan Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, masing-masing mereka membawa hadits Ali karramallaahu wajhah, dimana di dalam sanadnya ada orang yang namanya Asma bin Al-Hakam. Begitu pula dalam hadits riwayat Imam al-Baihaqy, Ibnu Abi Syaibah, al-Humaidi, Abu Ya‘la dan ath-Thabrani, juga semuanya ini melalui jalan Ali, yang di dalam sanadnya terdapat orang yang namanya Asma bin al-Hakam, dimana posisi Asma bin al-Hakam ini diperselisihkan oleh para ulama hadits . Artinya, sebagian ulama melemahkan Asma bin al-Hakam, bahkan Imam al-Bukhari mengingkari/menolak hadits dari jalan Asma bin al-Hakam ini. Tetapi sebagian ulama ahli hadits lainnya menganggap tsiqah Asma bin al-Hakam tersebut.
Karena ada perbedaan pendapat ulama ahli hadits tentang Asma bin al-Hakam dan tidak ada riwayat dari jalan lainnya sebagai penguat, maka sesuai dengan qaidah umum yang dipegang ahli hadits, yaitu ‘jarah didahulukan daripada ta‘dil’, artinya cacat didahulukan daripada pujian, atas dasar itulah Majelis Tarjih pada waktu itu tidak memasukkan shalat taubat ke dalam deretan shalat-shalat sunat dalam HPT.
Demikian latar belakang secara singkat mengapa dalam HPT tidak dimasukkan shalat taubat dalam deretan shalat-shalat sunat.
Mengenai jawaban pertanyaan No. 2 dapat dijawab secara singkat pula sebagai berikut:
Oleh karena masalah ini menyangkut masalah muamalah dan tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka kembali kepada prinsipnya yang umum, yaitu:

الأَصْلُ فِى اْلمُعَامَلَةِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى خِلاَفِهِ

Artinya: Prinsip dalam muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjuk kepada kebalikannya, artinya tidak boleh. Memasang gigi (palsu) itu merupakan suatu hajat/kebutuhan bagi orang yang tidak ada lagi giginya untuk bisa mengunyah makanan sebelum ditelan atau untuk membantu pencernaan makanan. Di samping itu, orang yang tidak ada gigi tidak bisa membaca al-Qur’an secara baik, misalnya membaca perkataan/potongan ayat وَلاَ الضَّآلِّيْنَ dengan benar.
Di dalam buku يسألونك من الدين والحياة juz 2 halaman 239, Ahmad asy-Syarbasi menukil pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad asy-Syaibani dan Abu Yusuf, mereka membolehkan ,enguatkan gigi dengan perak dikala diperlukan. Hal itu mereka kiaskan dari menguatkan hidung dengan perak. Di dalam buku-buku sejarah ada riwayat bahwa seorang sahabat bernama ‘Arfajah dalam suatu peristiwa tulang hidungnya patah, Nabi saw memperbolehkan menggantikan tulang hidung yang patah itu dengan emas, karena hal itu suatu dlarurah, lalu oleh ulama-ulama Hanafi dikiaskan hal itu kepada menguatkan gigi dengan perak juga boleh.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Download Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah

Berdo’a dengan Do’a Buatan Sendiri, Ruh Anak yang Dikorbankan Karena Pesugihan dan Shalat Dhuha Berjama’ah

Penanya:
Wakidjo Az./ Agen SM No. 025, NBM. 494 220, Lampung
(disidangkan pada hari Jum’at, 7 Rabiul Akhir 1427 H / 5 Mei 2006 M)
Pertanyaan:
Pertanyaan saudara yang panjang dapat kami ringkas sebagai berikut:
1.      Bolehkah kita berdoa dengan doa buatan sendiri di dalam shalat?
2.      Kemanakah roh anak yang mati akibat dijadikan sebagai syarat mencari pesugihan?
3.      Bolehkah shalat dhuha dilaksanakan dengan berjamaah? Kalau boleh, bagaimanakah caranya? Dan apakah fadhilah shalat dhuha?
4.      Bagaimanakah lafaz takbir Hari Raya?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan kepada kami, berikut ini jawabannya:
1.      Berdoa untuk mendapatkan kebaikan dunia-akhirat bisa dilakukan sebelum dan sesudah shalat sunat maupun fardhu. Adapun berdoa dengan doa-doa yang diajarkan Nabi saw. di dalam shalat itu adalah sunat. Bagaimana pula jika kita berdoa dengan doa redaksi sendiri di dalam shalat? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat seperti berikut:
a.        Madzhab Hanafi: Tidak boleh berdoa di dalam shalat kecuali dengan doa-doa yang ada di dalam al-Qur’an atau seperti yang ada dalam al­-Qur’an. (lihat al-Mabsut karangan as-Sarakhsi: 1/202-204).
Dalilnya:

قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْئٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ. [أخرجه مسلم].

Sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia. Sesungguhnya ia adalah tasbih, takbir dan bacaan al-Qur’an.” [Ditakhrijkan oleh Muslim].
b.       Madzhab Maliki (lihat Syarh az-Zarqani 2/60), madzhab Syafi’i (lihat Fathul Bari: 2/230, 2/321) dan madzhab Hambali (lihat al-Mughni karangan Ibn Qudamah 1/320-322): Boleh berdoa dengan doa buatan sendiri yang disukainya.
Dalilnya:

1.   قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ فِي التَّشَهُّدِ: ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ. [متفق عليه]، وَلِمُسْلِمٍ: ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ اْلمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ أَوْ مَا أَحَبَّ. وَفِي حَدِيْثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ مِنْ أَرْبَعٍ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ مَا بدَأَ لَهُ.

Sabda Nabi saw. dalam hadis Ibn Mas’ud dalam masalah tasyahhud: “Kemudian hendaklah ia memilih doa yang paling ia kagumi.” [Muttafaq Alaih]. Dan dalam hadits riwayat Muslim: “Kemudian hendaklah ia memilih –setelah tasyahhud– permohonan yang dikehendakinya atau disukainya.” Dan dalam hadis Abu Hurairah: “Jika salah seorang di antara kamu telah tasyahhud maka hendaklah ia berlindung (kepada Allah) dari empat perkara kemudian berdoa untuk dirinya apa yang tampak (baik) baginya.”

2. وَرُوِيَ عَنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ غَدَتْ عَلَي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: عَلِّمْنِي كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي صَلاَتِي فَقَالَ: كَبِّرِي اللهَ عَشْرًا وَسَبِّحِي اللهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيْهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِي مَا شِئْتِ. [رواه الترمذي].

Diriwayatkan dari Anas, bahwa Ummu Sulaim datang kepada Nabi saw. lalu berkata: Ajarkan kepadaku perkataan (doa) yang aku panjatkan dalam shalatku. Maka beliau bersabda: “Bertakbirlah sepuluh kali, bertasbihlah sepuluh kali dan bertahmidlah sepuluh kali, kemudian mintalah apa yang engkau kehendaki.” [HR. Tirmidzi].

3. قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا السُّجُوْدُ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنَ الدُّعَاءِ. [رواه ابن خزيمة].

Sabda Nabi saw.: “Adapun sujud, maka perbanyaklah doa di dalamnya.” [HR. Ibn Khuzaimah].
Menurut para Ulama pendukung madzhab ini, hadis-hadis di atas dengan jelas membenarkan doa buatan sendiri di dalam shalat, karena Nabi saw. tidak menentukan doa tertentu. Oleh karena itu, tidak heranlah jika para shahabat seringkali berdoa dengan doa yang tidak mereka terima dari Nabi saw., dan beliaupun tidak mengingkarinya. Tambahan pula hadis-hadis di atas rnentakhsis (mengkhususkan) keumuman dalil madzhab Hanafi itu, apalagi pengharaman berbicara di dalam shalat itu terjadi ketika di Makkah, sedang hadis-hadis mcngenai doa di dalam shalat itu diucapkan di Madinah. (lihat Nailul Authar: 2/365).
Dengan demikian, kami cenderung kepada pendapat ini karena dalilnya lebih rajih (kuat). Namun berdoa di dalam shalat dengan redaksi buatan sendiri itu hendaknya dalam bahasa Arab, bukan dengan bahasa-bahasa lainnya untuk menjaga kesakralan shalat dan karena yang dicontohkam oleh para shahabat adalah dengan bahasa Arab. Wallahu a’lam bish-shawab.
2.      Sebelum menjawab pertanyaan saudara mengenai roh anak yang mati akibat dijadikan syarat mencari pesugihan, perlu kami tegaskan di sini bahwa mencari pesugihan/kekayaan dengan cara meminta tolong kepada dukun dan atau jin itu adalah syirik. Hal itu perlu dijauhi karena dosa besar.
Kemudian, menurut pendapat kami anak yang mati karena dikorbankan untuk mencari pesugihan itu memang sudah sampai ajal yang telah ditentukan oleh Allah dan tidak berpindah ke alam jin atau setan, dan tidak pula bisa hidup selama-lamanya sebagaimana kepercayaan sebagian orang. Ini karena jika seseorang itu telah meninggal, maka berarti ajalnya telah tiba. Dan Allah SWT menegaskan bahwa setiap jiwa itu akan merasakan kematian. Firman-Nya:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ اْلمَوْتِ. [آل عمران (3): 185].

Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” [QS. Ali Imran (3): 185].
Adapun ruh anak yang sudah mati itu, meskipun dibunuh untuk mencari pesugihan, tetap kembali kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. [الأنفال (8): 27].

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.” [QS. Al-Baqarah (2): 156]. Wallahu a’lam bish-shawab.
3.      Shalat dhuha boleh dikerjakan dengan berjamaah. Ada hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. shalat pada waktu dhuha berjamaah, namun para ulama memperselisihkan apakah yang dikerjakan oleh Nabi saw. dan para shahabat itu shalat dhuha atau bukan. Hadisnya sebagai berikut:

عَنْ عِتْبَانِ بْنِ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهَدَ بَدْرًا مِنَ اْلأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّى لِقَوْمِي وَإِذَا كَانَتِ اْلأَمْطَارُ سَالَ اْلوَادِى بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ وَلَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَى مَسْجِدَهُمْ فَأًُصَلِّي لَهُمْ وَوَدِدْتُ أَنَّكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْتِي فَتُصَلِّي فِي مُصَلَّى فَأَتَّخِذُهُ مُصَلًى قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَأَفْعَلُ إِنْ شَآءَ اللهُ. قَالَ عِتْبَانُ: فَغَدَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ حِيْنَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبِيْتَ ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْتُصَلِّي مِنْ بَيْتِكَ. قَالَ: فَأَشَرْتُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Itban bin Malik —dia adalah salah seorang shahabat Nabi yang ikut perang Badar dari kalangan Ansar— bahwa dia mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku sekarang tidak percaya kepada mataku (maksudnya, matanya sudah kabur) dan saya menjadi imam kaumku. Jika musim hujan datang maka mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka, sehingga aku tidak bisa mendatangi masjid untuk mengimami mereka, dan aku suka jika engkau wahai Rasulullah datang ke rumahku lalu shalat di suatu tempat shalat sehingga bisa kujadikannya sebagai tempat shalatku. Ia meneruskan: Maka Rasulullah saw. Bersabda: “Akan kulakukan insya Allah”. Itban berkata lagi: Lalu keesokan harinya Rasulullah saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq datang ketika matahari mulai naik, lalu beliau meminta izin masuk, maka aku izinkan beliau. Beliau tidak duduk sehingga masuk rumah, lalu beliau bersabda: “Mana tempat yang kamu sukai aku shalat dari rumahmu? Ia berkata: Maka aku tunjukkan suatu ruangan rumah”. Maka Rasulullah saw. berdiri lalu bertakbir, lalu kami pun berdiri (shalat) di belakang beliau. Beliau shalat dua rakaat kemudian mcngucapkan salam”. [Muttafaq Alaih].
Bagi mereka yang berpendapat bahwa itu adalah shalat dhuha, karena dilakukan ketika matahari mulai naik, maka mereka mengatakan bahwa shalat dhuha boleh dilakukan secara berjamaah. Caranya adalah dengan bacaan sirr (perlahan-perlahan, tidak jahr/terang).
Adapun fadhilah shalat dhuha adalah banyak, antara lain sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Nabi saw. dengan sabdanya:

عَنْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَصْبَحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمِي مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَصْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِاْلمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ اْلمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَالِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. [رواه مسلم].

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Setiap pagi hari, setiap ruas tulang dari seseorang di antara kamu itu ada (keharusan) sedekah. Setiap sekali tasbih adalah sedekah, setiap sekali tahmid adalah sedekah, setiap sekali tahlil adalah sedekah, setiap sekali takbir adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf (baik) adalah sedekah dan melarang dari yang mungkar adalah sedekah. Dan yang sedemikian itu dapat dicukupi oleh dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dari shalat dhuha.” [HR. Muslim].
4.      Mengenai lafadz takbir hari raya, sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Tarjih XX, yang berlangsung tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H, bertepatan dengan tanggal 18 s.d. 23 April 1976 di Kota Garut Jawa Barat, yang selanjutnya telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan surat Nomor: C/1-0/75/77 tertanggal 5 Shafar 1397 H bertepatan dengan tanggal 26 Januari 1977, adalah:

اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Keputusan ini berdasarkan dalil:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.

Artinya: “Dari Salman (diriwayatkan bahwa) ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd.” [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih].
Wallahu a‘lam bish-shawab.

Syirkul Asbab

Pertanyaan Dari:
Sujoko, NBM. 613966
Cabang Muhammadiyah Ampel Boyolali Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 22 Shaffar 1429 H / 29 Februari 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Saya membaca tulisan ustadz H. Muammal Hamidy, Lc. dari Bangil Jawa Timur, dalam lembaran dakwah Uswatun Hasanah No. 976 tanggal 21 Jumadal Akhir 1428 H / 6 Juli 2007 M, terbitan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta yang menguraikan tentang syirik itu ada 6 (enam) macam. Satu di antaranya adalah Syirkul Asbab, yaitu menyandarkan sesuatu kepada sebab, bukan kepada kekuasaan Allah SWT.
Dalam keseharian saya selalu mengurai permasalahan itu dari sebab akibat. Misalnya orang kecelakaan, saya telusur misalnya karena malam sebelumnya dia tidak tidur dan habis bekerja. Dari kejadian ini saya mengambil kesimpulan bahwa yang terkena musibah kecelakaan ini, karena kantuk dan lelah memaksakan diri mengendarai kendaraan.
Karena saya akan mengambil ibrah (pelajaran) dari sebab akibat kecelakaan, agar dalam bertindak selalu melihat kondisi badan. Di samping itu Islam juga mengakui adanya hukum sebab akibat. Oleh karena itu saya mohon penjelasan bagaimana sikap saya dalam menghadapi uraian dari ustadz H. Muammal Hamidy, Lc. tersebut, agar tidak terperosok ke dalam syirkul asbab tersebut, serta mohon dijelaskan pengertian dan macam-macamnya dengan rinci.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami jelaskan lebih dahulu pengertian syirik dan macam-macamnya sebagaimana saudara harapkan.
Kata ‘syirik’ (شِرْكٌ  ), berasal dari kata ‘syarika’ (شَرِكَ  ) yang berarti: berserikat, bersekutu, bersama atau berkongsi. Arti lughawi (bahasa) ini mengandung makna bersama-sama antara dua orang atau lebih dalam satu urusan atau keadaan.
Dalam al-Qur’an, kata syirik dengan berbagai bentuknya disebutkan 227 kali dengan makna yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya, antara lain:
a.       Persekutuan dalam pemilikan harta, seperti disebutkan dalam surat an-Nisa’ (4): 12.

فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ … [النسآء، 4: 12]

Artinya: “Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, …” [QS. an-Nisa (4): 12]
b.      Persekutuan dalam merasakan adzab di akhirat, seperti disebutkan dalam surat az-Zukhruf (43): 39.

وَلَنْ يَنْفَعَكُمُ الْيَوْمَ إِذْ ظَلَمْتُمْ أَنَّكُمْ فِي الْعَذَابِ مُشْتَرِكُونَ. [الزخرف، 43: 39]

Artinya: “(Harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.” [QS. az-Zukhruf (43): 39]
c.       Persekutuan dalam kekuasaan atau penciptaan antara Allah dengan berhala-berhala atau makhluk lain ciptaan Allah, seperti disebutkan dalam surat Yusuf (12): 106 dan Ali ‘Imran (3): 36.

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ. [يوسف، 12: 106]

Artinya: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [QS. Yusuf (12): 106]

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا … [النسآء، 4: 36]

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun …” [QS. an-Nisa (4): 36]
Macam ketiga inilah yang dimaksudkan dengan ‘syirik’ ini, yaitu menyekutukan Allah dengan selain-Nya yang diharamkan oleh Allah SWT. Menurut ar-Raghib al-Asfahaniy, syirik terbagi menjadi dua:
1.      Asy-Syirk al-Akbar (  الشِّرْكُ اْلأَكْبَرُ), syirik besar, yaitu syirik dalam bidang keyakinan, yaitu meyakini adanya Tuhan selain Allah atau menyekutukan Allah dengan makhluk ciptaannya dalam hal ketuhanan.
2.      Asy-Syirk al-Ashgar (  الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ), syirik kecil, yaitu menyekutukan Allah dalam tujuan beribadah atau beramal kebaikan yang tujuannya untuk memperoleh pujian dari orang lain, padahal tujuan beribadah dan beramal kebaikan itu seharusnya hanya untuk mencari keridlaan Allah SWT. (al-Mausu’ah al-Qur’aniyah: 369)
Kedua macam syirik tersebut hukumnya haram, dan Allah SWT tidak akan mengampuninya kecuali dengan bertaubat sebelum meninggal, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا. [النسآء، 4: 48]

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [QS. an-Nisa’ (4): 48]
Adapun bentuk syirik, tidak terhitung banyaknya; misalnya meyakini kekuasaan atau kekuatan ilahiyah (ketuhanan) pada benda-benda yang dianggap keramat seperti pohon beringin, keris, akik, akar bahar, binatang, kuburan, batu, patung dan sebagainya. Mengucapkan perkataan لَوْ (seandainya) apabila mengesampingkan takdir (kepastian) Allah, juga termasuk bentuk syirik. Misalnya seseorang berkata: ‘Seandainya ia tidak naik pesawat, niscaya ia selamat’, karena berkeyakinan bahwa penyebab tewasnya adalah naik pesawat yang mengalami kecelakaan. Padahal tewasnya karena sudah ditakdirkan Allah SWT. Tidak naik pesawat pun, jika sudah ditakdirkan Allah, pasti akan mati juga. Memberikan penjelasan dengan disertai uraian tentang sebab akibat adalah sah-sah saja, karena Islam juga mengakui adanya sebab dan akibat. Namun harus disertai pula dengan penjelasan bahwa semua itu karena takdir Allah. Mengembalikan peristiwa kepada sebab akibat saja, tanpa dengan meyakini takdir Allah adalah adat kebiasaan orang-orang munafik. Allah menegaskan dalam firman-Nya:

… يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا … [آل عمران (3): 154]

Artinya: … mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini’ …” [QS. Ali Imran (3): 154]
Pada ayat lainnya Allah berfirman:

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا … [آل عمران، 3: 168]

Artinya: “(Mereka itu adalah) orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: ‘Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh’ …” [QS. Ali Imran (3): 168]
Dalam suatu hadits ditegaskan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ. [أخرجه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: Usahalah dengan keras untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah semangat. Dan apabila kamu tertimpa musibah janganlah berkata: seandainya saya melakukan ini dan itu, niscaya menjadi begini dan begitu, melainkan katakanlah: Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki, Dia kerjakan. Sebab sesungguhnya perkataan ‘lau’ (seandainya) itu membuka perbuatan syaitan.” [Ditakhrijkan oleh Muslim]
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa terbunuhnya adalah karena takdir Allah SWT, sedangkan hadits Nabi saw melarang mengatakan ‘lau’ (seandainya), yang maksudnya hanya memikirkan sebab akibat saja, dan memberi perintah wajib menyerahkan semuanya kepada Allah SWT, karena sebab dan akibatnya Allah jualah yang menghendaki dan menciptakannya. Lain halnya jika perkataan ‘lau’ tersebut merupakan ungkapan penyesalan sebagai bagian dari usaha untuk introspeksi atau mengambil hikmah dari suatu peristiwa dan tidak mengingkari takdir Allah, maka hal itu diperbolehkan.
Sungguhpun demikian, manusia dituntunkan untuk menggapai takdir yang baik dari Allah dengan melakukan usaha atau ikhtiar. Bahkan manusia wajib berikhtiar dengan semaksimal mungkin, baru kemudian menyerahkan segala-galanya (bertawakkal) kepada Allah SWT tentang takdir-Nya. Tidak dibenarkan seseorang pasrah begitu saja tanpa melakukan usaha atau ikhtiar sama sekali, hanya menunggu takdir Allah datang.
Sebagai contoh, misalnya seseorang yang dalam keadaan mengantuk berat, sebagai bentuk ikhtiar hendaknya ia tidak mengemudikan mobil sebelum beristirahat secukupnya. Bagaimanapun juga mengemudi dalam keadaan mengantuk sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kecelakaan. Setelah dirasa cukup istirahat dan tidak lagi mengantuk, barulah ia dapat mengemudikan mobil secara lebih baik dan bertawakkal pada Allah dengan berdoa atau setidaknya membaca basmalah (Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Apabila ternyata tetap terjadi kecelakaan dan ia meninggal dunia, maka itulah takdir Allah. Di sini, yang perlu difahami adalah orang tersebut sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan bertawakkal.
Allah SWT berfirman:

… فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ. [آل عمران، 3: 159]

Artinya: “… kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [QS. Ali Imran, 3: 159]
Contoh lain, ketika seseorang menderita sakit, maka hendaknya ia berikhtiar dengan berobat. Setelah sembuh, apabila ia mengucapkan ‘saya sembuh karena berobat’, asalkan dengan keyakinan bahwa berobat tersebut adalah bagian dari ikhtiar dan kesembuhannya adalah takdir Allah, maka hal itu bukan termasuk syirik dan tidak ada masalah. Apabila ternyata ia tidak sembuh bahkan kemudian meninggal dunia, sama dengan contoh sebelumnya, bahwa orang itu sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan bertawakkal.
Kesimpulan
Islam membolehkan menjelaskan sebab dan akibat, dengan wajib meyakini bahwa semuanya adalah takdir Allah SWT. Takdir adalah wilayah kekuasaan Allah, manusia tidak akan pernah mengetahui sebelumnya. Manusia mempunyai kewajiban untuk melakukan ikhtiar atau usaha yang maksimal dan tawakkal atau menyerahkan hasilnya (takdirnya) kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mengapa Dibaca “Min Qablu” dan “Min Ba’du?”

Pertanyaan Dari:
Asfari Mukri, NBM. 643874
Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kradenan Pekalongan Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 6 Rabiul Awwal 1429 H / 14 Maret 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Bersama ini kami dari Jama’ah Majelis Ta’lim Masjid Al-Amin Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kradenan Pekalongan, bermaksud mengajukan pertanyaan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai berikut:
Sepanjang pengetahuan kami, bahwa al-Qur’an itu berbahasa Arab. Dalam bahasa Arab, kita kenal bahwa huruf مِنْ termasuk harfu jar, sehingga isim sesudahnya harus dibaca kasrah (majrur). Namun kami menjumpai bacaan dalam al-Qur’an:
1.      Surat al-Baqarah (2): 91, terdapat bacaan: مِنْ قَبْلُ
2.      Surat al-Anfal (8): 75, terdapat bacaan: مِنْ بَعْدُ
Sehubungan hal tersebut, kami mohon jawaban/penjelasan seperlunya. Sekian, atas perhatiannya diucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami jelaskan lebih dahulu beberapa hal yang erat kaitannya dengan apa yang saudara tanyakan.
Isim (kata benda), dibagi menjadi dua macam:
a.       Isim mu’rab, yaitu kata benda yang bunyi huruf akhirnya dapat berubah-ubah sesuai dengan kedudukannya dalam kalimat, seperti:
–          جَاءَ زَيْدٌ (Zaid datang). Kata Zaid berkedudukan sebagai fa’il (subjek/pelaku).
–          رَأَيْتُ زَيْدًا (Saya melihat Zaid). Kata Zaid berkedudukan sebagai maf’ul bih (objek).
–          مَرَرْتُ بِزَيْدٍ (Saya melewati Zaid). Kata Zaid majrur (dijar; dibaca kasrah) karena didahului huruf jar, yaitu بِ.
Kata Zaid termasuk isim mu’rab, karena bunyi huruf akhir د (dal) dapat berubah.
b.      Isim mabni, yaitu kata benda yang bunyi huruf akhirnya tetap, tidak berubah. Kata قَبْلُ (qablu) dan بَعْدُ (ba’du), termasuk ظَرْف (isim yang menunjukkan makna tempat atau keadaan).
Kedua kata tersebut, jika tidak disebutkan مضاف إليه (mudlaf ilaih)-nya (kata yang disandari, yaitu kata sesudahnya), sedang maknanya tersirat, maka kedua kata tersebut adalah mabni (huruf terakhir tidak berubah), sekalipun didahului huruf jar. Misalnya: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ هَذَا الْكِتَابِ مِنْ قَبْلُ . Yang dimaksudkannya ialah مِنْ قَبْلِ رُؤْيَتِهِ. Karena kata رُؤْيَتِهِ (mudlaf ilaih) tidak disebutkan, maka kata قَبْلُ adalah mabni, yakni bunyi huruf akhir, yaitu huruf ل (lam) tidak berubah, tetap didlammah.
Tetapi jika mudlaf ilaih-nya disebutkan dengan jelas, maka kata قَبْلُ menjadi mu’rab (huruf akhir berubah). Misalnya:  مَا رَأَيْتُ مِثْلَ هَذَا الْكِتَابِ مِنْ قَبْلِ رُؤْيَتِهِ . Huruf akhir dari kata قَبْلِ dikasrah karena didahului huruf jar, yaitu مِنْ (min).
Para ahli nahwu menamakan bentuk seperti itu dengan istilah غَايَةُ اْلغَايَاتِ (batas penghabisan), karena sesudahnya tidak ada kata lain, karena mudlaf ilaihnya tidak disebutkan. Bentuk seperti itu banyak disebutkan dalam al-Qur’an, antara lain:

فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ اْلأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ. [الروم، 30: 4]

Artinya: “Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang), dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” [QS. ar-Rum (30): 4]
Yang dimaksudkan denganمِنْ قَبْلُ  dan مِنْ بَعْدُ pada ayat tersebut adalah: مِنْ قَبْلِ الْغَلَبِ وَمِنْ بَعْدِهِ , artinya: sebelum kemenangan dan sesudahnya.”
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ruh Berkeliling Rumah

FATWA NO. 2/SM/MTT/I/2010
Tentang
Hadis Mengenai Ruh Orang Mati Berkeliling di Seputar Rumah
dan Makamnya
Tanya: Saya beberapa kali ditanya oleh rekan sejawat sesama pengurus takmir sebuah mesjid tentang hadis yang menyatakan bahwa ruh orang Islam yang meninggal akan berputar-putar di sekitar rumahnya selama satu bulan sejak meninggalnya dan setelah itu berputar-putar di sekitar makamnya selama setahun. Hadis itu oleh sebagian orang dijadikan dasar bagi diadakannya kegiatan tahlil. Hadis tersebut dinyatakan bersumber dari Abu Hurairah r.a. dan terdapat dalam kitab Durratun-Nashihin dengan terjemahan bahasa Jawa pada halaman 2195-2196. Matan hadis dimaksud sebagaimana dikutip dalam kitab Durratun-Nasihin dengan terjemahan bahasa Jawa itu adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ اْلمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْراً فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِياَلِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذاَ أَتَمَّ شَهْراً رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قَبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْ لَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِيْ الصُّوْرِ .

Pertanyaannya: Apakah hadis ini sahih dan siapa rawi yang meriwayatkannya? Mohon penjelasan.
Kalasan, 25-12-2009. Penanya: Sugianto, Guru SMPN 3 Turi, Kalasan, Sleman, Yogyakarta.
Jawab: Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Sugianto atas pertanyaannya. Agar para pembaca yang tidak memahami bahasa Arab dapat mengetahui isi matan dari teks di atas, maka terlebih dahulu kami perlu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahannya adalah sebagai berikut:
(Diriwayatkan) dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka arwahnya berkeliling-keliling di seputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka arwahnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling-keling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta orang yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka arwahnya dinaikkan ke tempat di mana para arwah berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala.
            Sebelum lebih lanjut menjelaskan asal-usul teks di atas yang diklaim sebagai hadis Nabi saw, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dan unsur-unsur hadis. Secara singkat hadis pada pokoknya adalah suatu matan yang dinisbatkan kepada Nabi saw melalui suatu rangkaian sanad yang menghubungkan mukharrij (penghimpun matan) kepada sumber matan, yaitu Nabi saw. Pengertian ini menjelaskan kepada kita bahwa hadis terdiri dari dua unsur pokok (rukun), yaitu sanad dan matan. Sanad adalah jalur yang terdiri atas satu rangkaian rawi yang sambung-menyambung hingga sampai kepada Nabi saw dan yang menghubungkan mukharrij (penghimpun hadis) kepada Nabi saw yang merupakan sumber matan. Matan adalah materi yang bersumber kepada Nabi saw yang diriwayatkan melalui jalur sanad yang menghubungkan penghimpun hadis kepada Nabi saw. Oleh karena itu setiap matan hadis haruslah ada sanadnya. Apabila ada hadis tanpa sanad, maka itu sama sekali bukan hadis yang sah. Sanad dalam pandangan orang-orang Muslim merupakan sarana untuk membuktikan bahwa suatu materi adalah hadis yang berasal dari Nabi saw. Berikut ini adalah contoh sanad dan matan:

مَالِك : عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ [رواه مالك]

Artinya: Malik (berkata): Dari ‘Amar Ibn Yahya al-Mazini, dari ayahnya (Yahya al-Mazini) diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain [HR Malik, al-Muwatta’, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, h.454, hadis no. 1461].
            Hadis ini dikutip dari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik (w. 179 H / 795 M). Dalam kitab ini Malik menyatakan bahwa ia menerima hadis la darara wa la dirar  dari gurunya ‘Amr Ibn Yahya al-Mazini, dan ‘Amr Ibn Yahya al-Mazini sendiri menerima hadis itu dari gurunya, yaitu ayahnya sendiri, yaitu Yahya al-Mazini yang menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain. Jadi rangkaian orang (rawi) yang menghubungkan Malik sebagai penghimpun hadis kepada Nabi saw, dalam hal ini ialah ‘Amr dan ayahnya Yahya, adalah sanad dari hadis riwayat Malik tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain. Sedangkan isi hadis berupa sabda Nabi saw tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain adalah matan.
            Perlu juga diketahui bahwa hadis harus ditemukan dalam sumber orisinal hadis. Sumber orisinal hadis adalah semua kitab yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Jadi kitab al-Muwatta’ karya Malik dan kitab fikih al-Umm karya Imam asy-Syafi’i (w. 204 H / 820 M) adalah sumber orisinal hadis, karena masing-masing penyusun kitab itu mempunyai sanad tersendiri yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Sedangkan kitab al-Muntaqa karya Ibn Taimiyyah (w. 728 H / 1328 M), dan kitab Nailul-Autar karya asy-Syaukani (w. 1255 H / 1839 M), misalnya, bukanlah sumber orisinal hadis karena penyusunnya tidak memiliki sanad yang menghubungkan mereka kepada Nabi saw. Mereka mengutip hadis-hadis dalam kitab mereka itu dari kitab lain. Jadi kitab-kitab tersebut, meskipun adalah kitab-kitab hadis, namun bukan sumber orisinal hadis.
            Sekarang marilah kita meneliti di mana sumber hadis tentang arwah yang berkeliling di seputar rumahnya yang ditanyakan di atas. Untuk melakukan penelitian kita dapat menggunakan tiga metode. Pertama menggunakan Program al-Maktabah asy-Syamilah (edisi 2), kedua menggunakan Program al-Jami’ al-Akbar (edisi 2), dan ketiga menggunakan Program al-Jami’ al-Kabir (edisi 4, 2007-2008). Penelusuran dengan menggunakan al-Maktabah asy-Syamilah tidak menemukan adanya hadis yang ditanyakan di atas. Ini berarti bahwa teks di atas tidak tercatat dalam satu pun dari 5505 kitab yang dirujuk dalam al-Maktabah asy-Syamilah. Dan karena itu juga dapat dinyatakan bahwa hadis yang sedang kita selidiki ini tidak tercantum dalam satu pun dari sumber-sumber orisinal hadis yang ada.
            Sekarang mari kita lakukan penelusuran dengan menggunakan Program al-Jami’ al-Akbar. Hasil penelusuran dengan menggunakan program ini juga nihil, artinya hadis yang ditanyakan di atas tidak tercantum dalam kitab-kitab hadis yang ada. Terakhir mari kita gunakan program al-Jami’ al-Kabir (edisi 4, 2007/2008). Program ini menunjukkan juga tidak ada hadis seperti yang ditanyakan di atas yang tercantum dalam sumber orisinal hadis mana pun. Namun program ini menemukan ada matan lain yang mirip dengan hadis yang ditanyakan di muka. Matan lain dimaksud adalah sebagai berikut:

اَلْمَيِّتُ إِذاَ مَاتَ دِيْرَ بِهِ دَارُهُ شَهْرًا يَعْنِيْ بِرُوْحِهِ وَحَوْلَ قَبْرِهِ سَنَةً ثُمَّ تُرْفَعُ إِلَى السَّبَبِ الَّذِيْ تَلْتَقِيْ فِيْهِ أَرْواَحُ اْلأَحْياَءِ وَاْلأَمْواَتِ .

Artinya: Seseorang apabila meninggal, maka ruhnya dibawa berputar-putar di sekeliling rumahnya selama satu bulan, dan di sekeliling makamnya selama satu tahun, kemudian ruh itu dinaikkan ke suatu tempat di mana ruh orang hidup bertemu dengan arwah orang mati.
            Matan ini direkam oleh ad-Dailami (w. 509 H / 1115 M) dalam kitabnya al-Firdaus fi Ma’tsur al-Khithab [(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1417/1996), IV: 240, nomor 6722], dari Abu ad-Darda’ tanpa menyebutkan sanadnya. Selain itu matan ini juga dicatat oleh as-Sayuthi (w. 911 H / 1505 M) dalam dua kitabnya, yaitu Busyra al-Ka’ib bi Liqa’ al-Habib (h. 11) dan Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur (h. 262). Namun as-Sayuthi dalam kedua kitab ini hanya mengutip dari ad-Dailami, dan ia menyatakan bahwa ad-Dailami tidak menyebutkan sanadnya. Dengan demikian matan ini pun juga tidak terdapat dalam sumber-sumber orisinal hadis.
            Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa matan yang ditanyakan di atas dan matan lain yang mirip yang disebutkan oleh ad-Dailami tidak ada diriwayatkan dalam satu pun dari sumber-sumber orisinal hadis dan matan-matan tersebut tidak memiliki sanad. Atas dasar itu, maka disimpulkan bahwa matan tersebut sama sekali bukan hadis Nabi saw.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah